Informasi Tentang Pacuan Kuda Di Tanah Gayo Banda Aceh

Informasi Tentang Pacuan Kuda Di Tanah Gayo Banda Aceh

Informasi Tentang Pacuan Kuda Di Tanah Gayo Banda Aceh – Penajaan even Pacu Kude( Kuda- red) di Gayo senantiasa ditunggu- tunggu bagus oleh masyarakat setempat ataupun masyarakat kabupaten di sekelilingnya.Semenjak sebagian tahun belum lama ini, di lapangan besar Gayo even ini diselenggarakan 4 kali dalam setahunnya, tiap- tiap 2 kali di kabupaten Aceh Tengah, serta 1 kali di Kabupaten Bener Hidup serta Gayo Lues. Pesertanya juga bertambah lama terus menjadi meningkat serta mutu kejuaraan pula terus menjadi bagus, sayangnya angka ke- tradisional- an pacu kude bertambah memudar diakibatkan oleh sebagian aspek teknis serta non teknis.

Informasi Tentang Pacuan Kuda Di Tanah Gayo Banda Aceh

horsehats – Dikutip dari lintasgayo.co, Dalam sebagian memo asal usul dan dari narasi mulut ke mulut, pacu kude di Gayo diawali dari Bintang, kemukiman sangat timur telaga Lut Payau Aceh Tengah.Mengambil dari novel Pacu Kude; Game Konvensional di Lapangan Besar Gayo yang di catat Piet Rusydi dari Gedung Pelanggengan Asal usul serta Angka Konvensional Banda Aceh tahun 2011, pacu kude pertama- tama diselenggarakan dekat tahun 1850 dengan arena balapan melewati Wekef sampai Menye berjarak lebih kurang 1, 5 km, rutenya memanjang, bukan memutar semacam dikala ini. Dikala itu, pacu kude diselenggarakan dikala luah berume ataupun lues bercak( sehabis panen padi- red).

Saat sebelum Urang Gayo memahami alat pemindahan moderen, jaran mempunyai kedudukan berarti dalam banyak perihal di Gayo paling utama selaku alat pemindahan benda serta orang dan aktivitas olah tanah di kebun.

Berikutnya bagi AR. Juri Nyaman Pinan dalam bukunya Pesona Tanoh Gayo, melaporkan pacu kude di pante Menye Bintang diselenggarakan dikala pagi serta petang hari, sehabis ashar. Satu bagian line balapan dibatasi dengan air telaga Lut Payau serta bagian yang lain( timur) dengan pagar Geluni. Dikala itu joki tidak dibenarkan mengenakan pakaian nama lain bugil dada.

Dikala itu tidak terdapat diadakan hadiah, para juara cuma mendapatkan“ Gah” ataupun julukan besar( marwah- red). Umumnya, pacu kude dilanjutkan dengan keramaian ataupun syukuran luah munoling( paska panen antah) yang biayanya didapat dengan berpegenapen( silih beramal bayaran serta perkakas yang lain).

Tipe yang lain, bagi ditulis Piet Rusydi, pacu kude merupakan aktivitas main- main para anak muda sehabis munoling( panen antah) spesialnya di Bintang. Kuda- kuda yang berkeliaran dikala Lues Bercak dibekuk dengan opoh kerung( kain sarung- red) serta di pacu. Adat- istiadat ini tanpa diketahui dijadikan even senantiasa mulai tahun 1930 yang mengaitkan kuda- kuda dan joki dari sebagian desa.

Sebab warga Gayo amat bersemangat melihat pacu kude ini, tadinya di tahun 1912 kolonialis Belanda memandang mengadakan pacu kude di Takengon dengan jalan lurus sejauh jalur depan Rumah Sakit lama( Kampus STAIN Gajah Putih saat ini) sampai Tan Saril. Tetapi sebab mematikan masyarakat, pacu kude setelah itu dipindahkan ke alun- alun Bercak Kolak yang setelah itu bernama Gelengang Musara Alun, jalan pacu kude berganti jadi bulat panjang, diberi pagar pembatas berbentuk tersik( pilar kusen) dan radang( semacam rotan).

Bagi Almarhumah Tgk. H. Meter. Ali Salwani yang diklaim pada salah seseorang mahasiswa Universitas Abulyatama Aceh Besar, Muhammad( 1996) dalam informasi riset yang bertajuk Keberadaan Berolahraga Balapan Jaran Konvensional di Kabupaten Aceh Tengah Tahun 1995, even ini di titel Belanda buat menyemarakkan balik tahun Istri raja Belanda, Wilhelmina tiap bertepatan pada 31 Agustus.

Dari pangkal lain, dikala itu mulai diadakan hadiah berbentuk piagam serta jam Alarm jam( Weker). Sebab hadiahnya Alarm jam gelar jaran juara sampai dikala ini sedang diucap jaran Alarm jam nama lain jaran jaran pemenang. Istimewanya, bila jaran awewe yang mendapatkan pemenang hingga dikenal selaku Kude Dompet, tidak nyata bila sebutan ini timbul.

Dikala kolonialisme Jepang, satu tipe melaporkan senantiasa terdapat even pacu kude semacam dituturkan

mantan Ahli Pemancar( Jupen) Kabupaten Aceh Tengah, Abd. Majid. Tetapi tipe lain melaporkan tidak sempat diselenggarakan sebab dikala itu angkatan Jepang mengutip ganti kepemilikan jaran selaku alat pemindahan mereka. Tidak hanya itu, warga Gayo amat mengidap dikala itu, apalagi busana yang dikenakanpun terbuat dari kulit kusen serta karung.

Kategori ataupun jenis kejuaraan dikala itu cuma diketahui 3 kategori ialah kategori jaran belia( umur 2- 4 tahun), jaran berusia( 4- 6 tahun) serta kategori jaran berumur( berumur diatas 6 tahun), jantan serta awewe. Jalan pacu untuk jaran belia berjarak satu kisaran( putaran) alun- alun Musara Alun( lebih kurang 1 km), jaran berusia 2 kisaran serta jaran berumur sepanjang 3 kali kisaran.Dahulu, memastikan jenis pacu buat seekor jaran tidak sangat kompleks serta sangat jarang terjalin perselisihan, tidak hanya jumlah jaran partisipan sedang terhitung sedikit pula aspek kejujuran serta kebersamaan para owner jaran lebih dikedepankan dibanding jadi pemenang.

Paska kebebasan RI, mulai tahun 1950 pacu kude pula luang diselenggarakan oleh warga, dikala itu kuda- kuda dari Bintang, Kenawat, Pegasing serta Kebayakan yang sangat aktif turut dan. Apalagi saking antusiasnya masyarakat serta partisipan pacu kude dari Kenawat, di Gelengang Musara Alun luang terdapat julukan tempat yang kira- kira besar dibandingkan bagian alun- alun yang lain dikenal“ Buntul Kenawat”, di posisi ini terkumpul kuda- kuda, joki serta pendukung dari Kenawat.

Bersamaan dengan terjadinya kabupaten Aceh Tengah tahun 1956, penyalenggaraan even pacu kude didapat ganti oleh Penguasa Aceh Tengah.Penyelengaraan pacu kude lalu bersinambung yang diselenggarakan dalam menyemarakkan Hari Balik Tahun( HUT) Kebebasan Republik Indonesia. Dalam sejarahnya, pacu kude Gayo luang di titel tidak hanya memeringati HUT RI ialah pada bulan Maret tahun 1992 yang dipelopori oleh Dandim 0106 Aceh Tengah.

Pacu kude Gayo pula luang diselenggarakan di Banda Aceh di tahun 1994, persisnya di alun- alun Jeulingke Banda Aceh. Dikala itu, figur warga Gayo, Husni Kebajikan berprofesi selaku Arahan Cetak biru( Pimpro) di Biro Pariwisata Wilayah Eksklusif Aceh.

Dikala bupati Aceh Tengah di berprofesi oleh Drs. Buchari Ishaq, persisnya di tahun 1995 lewat Biro Peternakan mengglirkan program kenaikan mutu jaran pacu dengan kelak benih jaran pejantan dari Padang Sumatera Barat yang setelah itu pula kuda- kuda pejantan dari Australia. Generasi dari kuda- kuda hasil berbaur silang ini setelah itu diketahui dengan julukan jaran Astaga ataupun jaran blasteran Australia- Gayo yang identitas posturnya lebih besar serta larinya lebih kilat.

Baca Juga : Pelana Yang Tidak Pas Dapat Menyakiti Punggung Kuda

Sebab wisatawan pacu kude terus menjadi banyak, Gelengang Musara Alun ditaksir tidak sesuai lagi selaku tempat penyelenggaraannya. Serta dikala bupati Aceh Tengah dijabat Drs. H. Mustafa Meter. Tamy dengan persetujuan warga serta Badan Perwakilan Orang Wilayah( DPRD), di tahun 2002 penajaan pacu kude dipindahkan ke Pegasing, persisnya di Alun- alun H. Muhammad Hasan Gayo Bercak Bebangka.

Bersamaan dengan pemindahan arena pacu kude ini, jaran partisipan pula terus menjadi menyebar, tadinya cuma sekeliling Aceh Tengah, tercantum kabupaten Bener Hidup saat sebelum dimekarkan serta dari kabupaten Gayo Lues yang dalam sejarahnya sudah memahami pacu kude semenjak tahun 1936.

Penajaan pacu kude di Takengon Kabupaten Aceh Tengah terus menjadi disukai, bukan saja oleh masyarakat setempat tetapi dari pantai Aceh, Sumatera Utara apalagi mancanegara. Even ini jadi salah satu even di Aceh yang sangat disukai turis. Serta sehabis ditetapkannya Hari Jadi Kota Takengon itu pada 17 Februari 1577 oleh DPRK Aceh Tengah dengan

Qanun Kabupaten Aceh Tengah no 10 tahun 2010 penajaan pacu kude semenjak tahun 2011 jadi 2 kali dalam satu tahun, memeringati HUT Kebebasan RI di bulan Agustus serta memeringati HUT Kota Takengon di bulan Februari.

Kabupaten Bener Hidup yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2005 pula mulai mengadakan even ini semenjak tahun 2006 di alun- alun Sengeda yang berada di kaki Burni Telong ,bersebelahan dengan Bos Hawa( Lapangan terbang) Rembele dibentuk dikala Ir. Tagore Abubakar selaku Bupati. Di Bener Hidup, pacu kude diselenggarakan dalam memeringati Hari Jadi Kabupaten yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negara pada bertepatan pada 7 Januari 2004.

Sedangkan di Kabupaten Gayo Lues yang dimekarkan dari Aceh Tenggara dengan Dasar Hukum UU Nomor. 4 Tahun 2002 pada bertepatan pada 10 April 2002 pula mengadakan pacu kude dalam memeringati Hari Jadi kabupaten itu ataupun memeringati HUT Kebebasan RI semenjak tahun 2009 yang awal diselenggarakan di Buntul Judul serta semenjak tahun 2010 pacu kude mulai diselenggarakan di alun- alun Buntul Nege sehabis ditatap pantas dipakai.

Terdapat satu yang senantiasa terngiang di telinga masyarakat Gayo dikala digelarnya Pacu Kude, ialah jeritan jauh dikala jaran dilepas( mulai) oleh Ahli of Ceremony( MC),“  seperti itu pekikan khas bila jaran lagi berlari berlomba- lomba mengarah garis finish. Pekikan ini, tanpa diketahui pula selaku instruksi untuk wisatawan buat tidak kemudian lalang di arena pacu kude.

Ketentuan teknis pacu kude pula tidak bebas dari gairah cocok kemajuan era. Dahulu metode mulai pacu kude cuma dengan selembar bendera yang diiringi dengan instruksi“ bebas”. Jaran yang hendak berlomba- lomba dipegang oleh satu orang serta satu orang yang lain tiap- tiap terletak dibelakang jaran buat menghalau ataupun memecut jaran supaya berlari. Tata cara mulai ini sering jadi bibit ketegangan dampingi owner serta joki alhasil pada tahun 2012 Penguasa Kabupaten Aceh Tengah lewat Biro Kultur Pariwisata Anak muda serta Berolahraga mulai mengenakan Starting Gate selaku perlengkapan melepas jaran pacu. Semenjak dipakainya perlengkapan ini, hampir tidak terdengar lagi ketegangan.

Bersamaan dengan kian berkualitasnya jaran pacu, para joki pula mulai mengenakan sadel serta perlengkapan keamanan yang lain dikala melajukan jaran. Sadel ini biasanya digunakan pada kuda- kuda yang berkompetisi di kategori A, bukan di jaran lokal.

Pacu kude di Gayo bagi Pengasuh Besar Persatua Berolahraga Berkuda Semua Indonesia( PB- PORDASI), yang bertamu ke Takengon dikala pacu kude bulan Nopember 2013, Drh. Sridadi Wiryosuhano sangat banyak“ ter” nya di Indonesia.

Pacu Kude Gayo itu“ terunik” sebab determinasi balapan bersumber pada besar tubuh serta baya jaran sedangkan di ketentuan PORDASI itu tidak diketahui. Berikutnya“ paling banyak” pesertanya ialah tidak kurang dari 300 akhir jaran sedangkan di even lain di Indonesia cuma sebagian akhir jaran saja. Kemudian“ paling banyak” penontonnya, didaerah lain di Indonesia tidak terdapat even pacu jaran yang menghirup puluhan ribu orang.

Berikutnya“ terbahaya” sebab biasanya para joki tidak dilengkapi dengan perlengkapan pengaman semacam sadel, helm, kacamata serta sepatu. Tidak hanya itu pemirsa pula dapat dengan lapang masuk ke jalan pacu dikala jaran lagi berlari cepat. terdaftar sebagian kali terjalin musibah bagus mengenai joki ataupun wisatawan apalagi sebagian antara lain sampai tewas bumi terlindas jaran.

Prangko tahun 2014

Kemasyhuran pacu kude Gayo memanglah tidak diragukan lagi, pada tahun 2014 pihak Departemen Komunikasi serta Informatika menerbitkan prangko seri tahun jaran yang diterbitkan pada bertepatan pada 10 Januari

2014. Pacu Kude konvensional Gayo jadi satu dari 3 buah konsep( jaran Sumbawa serta jaran lumping) jadi subjek penting prangko yang di launching PT Pos Indonesia( Persero) serta Badan Indonesia Cina( LIC) di Kantor Filateli Jakarta pada bertepatan pada 25 Februari 2014.

Share and Enjoy !

Shares
Informasi